
MEDAN - Pimpinan Daerah Ikatan Pelajar Al Washliyah (PD IPA) Kabupaten Simalungun menilai pelaksanaan Musyawarah Wilayah (Musywil) Ikatan Pelajar Al Washliyah (IPA) Sumatera Utara ke-XIX yang digelar pada 20–21 Oktober 2025 di Asrama Haji Medan telah jauh melenceng dari semangat demokrasi pelajar. Forum tertinggi pelajar Al Washliyah tersebut dinilai sarat dengan ketidaknetralan, rekayasa aturan, dan praktik-praktik yang menunjukkan adanya kepentingan kelompok tertentu. Minggu (19/10/2025).
Menurut PD IPA Simalungun, sejak awal proses Musywil sudah menunjukkan tanda-tanda ketidakberesan. Ketua Panitia, Fikri Ahmadi, yang juga menjabat sebagai Ketua Plt PD IPA Batu Bara, justru ikut mengeluarkan rekomendasi dukungan kepada salah satu calon Ketua PW IPA Sumut. Hal tersebut dinilai sebagai bentuk penyalahgunaan kewenangan dan pelanggaran terhadap prinsip netralitas panitia penyelenggara.
“Ini bentuk kemunduran moral dan logika organisasi. Seorang ketua panitia sekaligus Plt tidak seharusnya ikut menjadi pemain dalam arena demokrasi. Bagaimana mungkin seseorang yang berperan sebagai penyelenggara juga ikut mendukung salah satu calon? Ini jelas tidak etis dan merusak kepercayaan kader terhadap integritas Musywil,” tegas Ketua PD IPA Simalungun, Aji Apriansyah.
Aji menambahkan, kejanggalan semakin terlihat dengan munculnya syarat pencalonan yang mewajibkan calon Ketua PW IPA Sumut memperoleh rekomendasi dari minimal 50% PD IPA se-Sumatera Utara. Syarat ini disebut sebagai bentuk penyaringan yang diskriminatif dan berpotensi membungkam kader yang memiliki kapasitas tetapi tidak memiliki akses ke jaringan kekuasaan.
“Aturan ini bukan lagi mekanisme demokrasi, tapi instrumen untuk menyingkirkan calon-calon potensial yang dianggap tidak sejalan dengan kelompok tertentu. Inilah bentuk nyata oligarki dalam tubuh pelajar yang seharusnya menjunjung tinggi keadilan dan nalar keilmuan,” ujarnya.
PD IPA Simalungun juga menyoroti Steering Committee (SC) Musywil yang dinilai tidak profesional dan tidak independen. Ketua SC bahkan diketahui merangkap sebagai Sekretaris Plt PD IPA Batu Bara dan ikut mengeluarkan rekomendasi dukungan kepada calon tertentu.
“Struktur penyelenggara yang rangkap jabatan antara panitia, SC, dan Plt adalah cacat etik. Hal ini menunjukkan bahwa proses Musywil bukan lagi forum aspiratif, melainkan arena pengaturan hasil. Ini bukan sekadar pelanggaran prosedur, tapi sudah menyentuh ranah moral dan integritas organisasi,” tambahnya.
Aji juga mengkritik keras kepemimpinan Plt Ketua PW IPA Sumut, Zaldi Hafiz Umayyah, yang dinilai gagal menjaga wibawa organisasi dan justru membiarkan praktik-praktik manipulatif tersebut berjalan.
“PW seharusnya menjadi pengayom dan penjaga nilai keilmuan, bukan justru menjadi bagian dari praktik kekuasaan yang tidak sehat. Banyak keputusan yang diambil secara sepihak, tanpa dasar rasional, bahkan menyalahi tradisi musyawarah yang menjadi identitas IPA,” ujarnya.
Lebih lanjut, Aji menyebut bahwa PD IPA Simalungun telah menolak keputusan-keputusan sepihak dalam forum Rapimwil, dan berupaya meluruskan arah organisasi agar tetap sesuai dengan prinsip rasionalitas, etika, dan nilai-nilai kepelajaraan. Namun, sikap kritis tersebut justru direspons dengan pemaksaan voting dan intimidasi politik oleh pihak wilayah.
“Kami bukan anti terhadap Musywil, tapi kami menolak Musywil yang kotor. Kami menolak proses yang penuh kepentingan, yang mengorbankan akal sehat dan nilai-nilai intelektual. Kalau Musywil dijalankan dengan cara seperti ini, maka ini bukan lagi forum demokrasi, melainkan drama kekuasaan,” tegas Aji Apriansyah.
Ia juga menilai percepatan jadwal Musywil yang dilakukan tanpa kesiapan matang, penunjukan panitia tanpa transparansi, dan rangkap jabatan yang berlapis sebagai bukti nyata bahwa ada upaya sistematis untuk menggiring hasil Musywil ke arah tertentu.
“Semua tanda-tanda itu jelas: dari jadwal yang dipercepat, panitia yang tidak netral, sampai aturan yang dibuat untuk menguntungkan pihak tertentu. Ini bukan sekadar kelalaian, tapi indikasi kuat adanya desain politik di balik layar,” pungkasnya.
Sementara itu, Ketua PD IPA Kota Tebing Tinggi turut mendukung langkah PD IPA Simalungun yang berani bersuara. Ia menilai keberanian tersebut penting agar organisasi tidak terjebak dalam budaya diam terhadap penyimpangan.
“Suara PD IPA Simalungun mewakili keresahan banyak daerah. Kami sepakat bahwa Musywil harus dijalankan secara ilmiah, objektif, dan terbuka. Kalau organisasi pelajar saja sudah kehilangan integritas, lalu di mana lagi generasi intelektual akan belajar tentang etika dan keadilan?” ujarnya.
(AIN)